Selasa, 23 Agustus 2011

Warna uzur Kemerdekaan kita; “Benci dan Tragedi Kemanusiaan”


  Tidak seorang pun pernah benar-benar kehilangan cinta. Karena itu, pembunuhan sesungguhnya tak pernah dipahami. Jika orang sudah menjadi ter-jahat, ter-bandit, ter-pengkhianat, ter-kakap, bahkan ter-binatang atau ter-setan, kita yang menikamkan pedang di dadanya mencatat suatu tingkat kebinatangan yang lebih tinggi dari sang mayat.
                Juga ketika Tuhan mengucap Kun! dan mencipta, temanya adalah drama cinta kasih, termasuk kepada siapa pun yang sampai akhir hayatnya gagal berkenalan dengan-Nya. Tuhan mungkin menghukum atau memaafkannya, dan itu urusan-Nya. Tetapi kita mampu berbuat melebihi-Nya. Karena tiada jaminan keamanan untuk meyakini hukum-hukum, kemudian juga meyakini hukuman-hukuman. Pada gilirannya ia menjadi yakin akan pembunuhan-pembunuhan. Bisa atas nama-Nya, bisa pura-pura atas nama-Nya, bisa juga untuk hal-hal yang tak terlalu berhubungan dengan-Nya. Manusia mampu membunuh saudaranya.
                Membunuhnya, mengusirnya, mencabut dari ibunya, tanahnya, raganya. Membunuhnya, bahkan beratus, beribu, berjuta-juta. Untuk mengamankan kekuasaan, menertibkan keadaan, memelihara ketegangan antar komunitas, mengadu domba golongan-golongan, menjaga harga satuan mata uang, menstabilkan penindasan --- atau orang juga membunuh saudaranya karena tak dianggap saudara dan dipojokkan oleh kekuasaan dan permusuhan.
                Manusia mampu membunuh saudaranya. Dan makin mampu ketika ia makin pintar, terpelajar, berkembang dan maju, memegahkan peradabannya dengan alat pendeteksi langit, filsafat yang menukiki kebenaran, dan puisi yang mengindahkan nurani kemanusiaan, pun dengan rumus-rumus bertinta emas yang memadatkan bumi menjadi sebutir kerikil diujung lobang pantat.
                Lokomotif sejarah yang bernama politik, yang menyeret dan menentukan arah gerbong-gerbong kemanusiaan, telah dan akan terus menjadi begitu penting, juga untuk membunuh para penumpangnya. Asap lokomotif mampu menyebar ke dalam gerbong, merasukkan bau dan kuman yang membuat penumpang mabuk, mengamuk, lalu saling bunuh-membunuh. Perang di Aceh, Ambon atau Poso, Kesenjangan di Papua, diskriminasi di Cikeusik, dan sejumlah tragedi kemanusiaan lainya mungkin berlangsung bisa hanya sebulan-dua bulan, atau setahun-dua tahun. Tapi kuman yang tertanam disel-sel otak dan perasaan bisa tak hilang untuk seabad bahkan selamanya.
                Ada kemungkinan, kebanyakan orang tidak tahu secara tepat apa yang sebenarnya berlangsung di dalam sejarah, karena sejarah ialah buku roman yang bergantung pada pengarangnya, atau beberan panggung sandiwara yang ditentukan oleh sutradara. Ada kemungkinan, kebanyakan orang tidak begitu peduli pada itu semua. Ada kemungkinan para cerdik pandai hanya menjadi tinta sejarah, yang terserah pada pulpen penulisnya. Ada kemungkinan, para cendekiawan sejarah, dengan rela atau terpaksa, berperan hanya sebagai sesuatu yang disejarahkan.
                Juga ada kemungkinan, amat sedikit di antara mereka yang bisa menjawab pertanyaan Anda, misalnya, berapa orang persisnya yang mati dan hilang di negeri ini selama akhir 1965 – pertengahan 1998 karena kekejaman Rezim. Anda juga barangkali menginginkan analisa kualitatif yang megklasifikasikan sebab-sebab kematian-kematian itu, untuk menjadi bahan Anda membenarkannya, untuk bergembira atau berduka.
                Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Orang mati gampang dilupa, terutama oleh para pembunuh atau orang-orang yang mensyukuri kematiannya. Namun barangkali tidak oleh mereka yang berada di pihak kematiannya, apalagi oleh anak-anak yang dibesarkan dengan kenangan kematian seseorang yang, meskipun dianggap sampah, amat dicintainya.
                Tahukah kita, demi kejujuran sejarah, berapa jumlah anak-anak yang seperti ini? Jiwa-jiwa putih yang kita muncrati darah, sehingga sangat membenci bukan hanya kepada pedang dan senapan saja, tapi juga tampang kita, baju kita, kalimat-kalimat kita, agama kita, atau bahkan Tuhan kita. Kejiwaan mereka bergerak didasar lautan, arus bisu endapan sejarah, dengan selalu mendekap dosa-dosa kita di relung kenangannya yang kekal.
                Anak-anak kita sendiri menjadi begitu terbiasa dengan pembunuhan yang dikehendaki, kematian yang disyukuri, juga dendam yang berkarat. Mungkin melihat, mungkin mendengar. Tapi jelas, anak-anak itu meniru, dan memang kita ajari, untuk menyukai apa yang kita sukai dan membenci apa yang kita benci. Pada titik selanjutnya, anak-anak berdoa dan mengutuk, mengikuti seperti doa dan serapah kita.
                Anak-anak disiapkan Tuhan untuk mencintai dan membenci apa-apa yang pantas dicintai dan dibenci. Kita yang mengajari, meluruskan, membelokkan, atau membalikkan kepantasan itu. Besok pagi, ada kemungkinan, mereka lalu merasa kaget dengan ajaran kita. Lusa mereka kemudian berhimpun dan bergerak meluruskan kita, atau justru membelokkan, membalikkan, memasukkan kita kebawah nisan terkutuk, sama peris seperti yang kita lakukan atas hari demi hari yang menyuruk ke masa silam. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar