Sabtu, 11 Februari 2012

Melompati Lompatan.

Membicarakan Perayaan Hari Raya Imlek atau Tahun Baru China tanpa membicarakan keberhasilan China hari ini, ku pikir adalah sama halnya dengan membuat perbincangan itu menjadi tidak menarik. Sebab tanpa kemudian bermaksud untuk mereduksi aspek cultural dari perayaan ini, kita telah sama-sama memahami bahwa setiap kebudayaan dan peradaban dimuka bumi yang memiliki sistem penanggalan tahun, momentum pergantian tahun atau Tahun baru akan identik dengan perayaan sebagai sebuah bentuk kesyukuran kepada
pencipta oleh karena kesempatan hidup yang masih tetap diberikan, contohnya perayaan Tahun Baru Hijriyah atau perayaan tahun baru Masehi. Sehingga secara umum, sebuah perayaan Tahun baru (tanpa bermaksud mereduksi aspek cultural dari perayaan itu) adalah bermakna sama. Oleh karena itu, kita perlu mengahadirkan topik pembahasan lain yang kemudian membuat perbincangan ini menjadi menarik. Dan pada titik itu, kita harus mengiyakan bahwa keberhasilan dan kesuksesan china sebagai kekuatan baru didunia adalah topik yang menarik untuk dibicarakan pada perayaan Imlek tahun ini. Dalam majalah tempo edisi 23-29 januari, Goenawan Mohamad memaparkan ulasan yang menarik, sehingga saya merasa perlu untuk membaginya dalam tulisan ini.
Kaum revolusioner sering menganggap waktu sebagai musuh. Juga di negeri yang ribuan tahun umurnya: China. Mungkin itu sebabnya Mao Zedong memerintahkan agar konghucu tidak diikuti. Sang guru purba pernah mengatakan bahwa berlaku pelan bukanlah sesuatu yang salah, asal kita tak berhenti melakukan kerja. Tapi bagi pemimpin besar revolusi china, Mao, pelan sama artinya dengan “anti-kiri”. Ditahun 1957, Mao memperkenalkan istilah “yuejin” atau “Lompatan”, menggantikan semboyan “Maojin” atau “bergegas ke depan”.
Pada tahun 1957-1958 Mao membuat ancang-ancang untuk menyamai kemajuan Inggris dalam 15 tahun – kemudian dipersingkat jadi tujuh tahun, dan kemudian lebih cepat lagi: tiga tahun. Ia mengecam mereka yang menentang gagasannya untuk menggerakan industrialisasi china dengan cara melompat, memotong waktu. Baginya, ketinggalan dari dunia kapitalis harus cepat ditebus. Tak ada yang berani membantahnya. Dalam catatan di buku Judith Shapiro, Mao’s War Against Nature, salah seorang tokoh partai, Chen Boda, kemudian dengan bangga mengatakan: “di China,  satu hari sama dengan 20 tahun”.
Dan waktu pun dirigkus. Menjelang akhir 1958, ada 90 juta penduduk bekerja membuat “Tanur” dipekarangan: melumerkan apa saja yang dari besi untuk diproses jadi baja. Selama kerja berjam-jam itu, tanah pertanian  terabaikan. Kelelahan jadi epidemi. Kita melihat gejalanya tergambar dalam film Zhang Yimou, Huozhe (produksi 1994): seorang anak kecapekan, jatuh tertidur, dan disembunyikan ayahnya dibalik sebuah dinding. Kepala Distrik yang juga dalam keadaan lelah memundurkan mobilnya, menabrak dinding itu – dan si anak tewas tertimpa.
Sejarah kemudian mencatat, “Lompatan besar” itu bukan hanya gagal. Ekologi tergangu sampai gawat karena pepohonan, bahkan burung-burung, harus dikorbankan. Yang lebih buruk: kerja pertanian terlantar, pangan segera habis, dan kelaparan pun merebak meluas. Jutaan orang mati.
China jera. Dimulai tahun 1978, setelah Mao tak ada lagi, Partai Komunis Cina memulai “Gaige kaifang, atau Reformasi dan Keterbukaan”, sebuah kebijakan yang digariskan Deng Xiaoping, orang yang dulu disingkirkan Mao karena dituduh memilih “jalan kapitalis”.
Ironisnya, baying-bayang Mao berlanjut: Cina tampak kembali dalam Yuejin. Bentanga waktu seakan-akan dianggap sesuatu yang tak relevan. Dalam periode tiga dasawarsa, sejak 1978 sampai 2010, ekonomi China tiap tahun tumbuh 9,5 persen. Dengan segera ia jadi perekonomian terkuat nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat. Cita-cita Mao buat menyamai Inggris tercapai, bahkan lebih dari itu.
Tentu, pada mulanya bukanlah kecepatan. Dalam Prisoner of the State, memoir rahasia Zhao Ziyang – Perdana Menteri China yang dicopot dan ditahan karena menolak untuk menggunakan kekerasan terhadap demonstrasi mahasiswa di Tiananmen, tapi juga orang yang mendukung garis Deng Xiaoping dalam reformasi – kita dapat melihat bahwa pada mulanya adalah pragmatisme: jalan baru itu diambil “setelah pengalaman praktis”, dan “setelah rangkaian panjang maju-mundur”. Mungkin itu sebabnya seorang tokoh Partai merumuskan langkah baru itu sebagai “Berjalan menyebrangi sungai dengan kaki meraba batu”. Dan berbeda dari “lompatan besar” Mao, yuejin baru ini bermula kecil-kecil, dari bawah.
Di dusun Xiaogang di Provinsi Anhui Timur, seorang pemuda berumur 18 tahun, Yan Hongchang, membuat perjanjian rahasia dengan 18 petani: tanah komunal dusun itu dibagi jadiporsi individual. Mula-mula ketakutan karena akan dituduh “kontrarevolusioner”, Yan tak menyangka bahwa pemerintahan semasa Deng mendukungnya – dan menjadikannya model ke seluruh China. Pertanian tak lagi kolektif. Hasrat mendapatkan laba ditumbuhkan. Semboyan “jadi kaya itu jaya atau zhifu guangrong” bergema di mana-mana.
Tapi pada saat yang sama, “jadi kaya” dengan “lompatan besar” juga jadi tekad dimana-mana. Yang terjadi di China adalah waktu yang kembali dilawan. Dulu oleh revolusi, kini oleh sesuatu yang kontrarevolusi atau seakan-akan menyimpang dari revolusi, tapi sebenarnya merupakan versinya yang lain: agenda kemajuan.
Yang sering terlupa, seperti halnya revolusi, kemajuan tak berlangsung hanya dengan desain, tapi juga dengan sedimentasi sejarah. Baik “lompatan besar” Mao maupun yang terjadi di China sekarang tak bisa melepaskan diri dari waktu – dalam arti: waktu yang berwujud sebagai endapan masa lalu, bersama impian buruk dan baiknya. Kemajuan yang hanya berupa lompatan besar yang menampik sedimentasi itu akan melahirkan Ordos. Ordos, khususnya kota baru Kangbashi, adalah sebuah desain ditengah gurun. Terletak di Mongolia Dalam, salah satu wilayah terkaya di China, desain itu diwakili dengan megah disebuah layar besar menampilkan animasi tiga dimensi yang menggambarkan bagaimana lengkapnya nanti kompleks hunian dan perdagangan di area seluas 30 kilometer itu. Puluhan ribu rumah dan beberapa lusin bangunan mentereng didirikan menyesuaikan dengan itu, tapi praktis selama lima tahun kosong. Kota tanpa penghuni ini, disebut sebagai “kota hantu modern”, banyak terdapat di China kini. Sebuah laporan mengatakan ada 64 juta apartemen yang berdiri dan praktis tak ada yang mendiaminya.
Para perancang pembangunan China tampaknya kembali mengumandangkan semboyan Mao, “Duo, Kuai, Hao, Sheng” (“Lebih Besar, Lebih Cepat, Lebih Baik, Lebih Hemat”), dengan tekanan pada “cepat” dan “besar”. Mereka mampu menumbuhkan ekonomi dengan mengesankan, tapi tak begitu mengenal – dengan mekanisme pasar atau dengan campur tangan Negara – bahwa kota adalah waktu. Maksudnya, Kota tumbuh berjalan kaki sebagaimana sejarah tak terbang dari ujung awan.

Selamat Hari Raya Imlek..
Bagaimana Indonesia kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar